15 Desember 2008

Tiga Kelompok Pokok Teori Perancangan Kota

Pada umumnya para arsitek tertarik mengenai teori- teori yang memandang kota sebagai produk. Akan tetapi kelompok teori tersebut sudah memiliki sifat kompleks. Itulah salah satu alasan utama mengapa banyak arsitek dan perancang kota sering gagal jika mendesain sebuah kawasan kota dengan baik, yakni karena belum memahami lingkup dan hubungan rumit yang ada antara teori-teori tersebut. Tidak ada satu jawaban atau satu teori pun yang menjelaskan bagaimana sebuah kawasan seharusnya dirancang sebagai sebuah produk perkotaan.

Walaupun demikian, kesulitan tersebut tidak perlu membingungkan karena dalam perancangan kota dikenal tiga kelompok secara arsitektural yang sangat berguna bagi para perencanaan kota, khususnya jika perancang memperhatikan implementasi teori yang satu dan teori yang lain karena setiap teori mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Oleh sebab itu, teori perlu digabungkan satu dengan yang lain supaya daptar diperoleh suatu analisis kota dan arsitektur yang bermakna sebagai landasan perancangan kota secara arsitektural. Roger Trancik sebagai tokoh perancangan kota mengemukakan bahwa ketiga pendekatan kelompok teori berikut ini merupakan landasan penelitian perancangan perkotaan, baik secara historis maupun modern. Ketiga pendekatan tersebut sama-sama memiliki suatu potensi sebagai strategi perancangan kota yang menekankan produk perkotaan secara terpadu.

Teori F igure / G round
Teori pada kelompok pertama ini dapat dipahami melalui pola per-kotaan dengan hubungan antara bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang terbuka (open space). Analisis figure/ ground adalah alat yang baik untuk:
- mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola tata ruang perkotaan (urban public);
- mengidentifikasi masalah keteraturan massa/ruang perkotaan.
Kelemahan analisis figure/ground muncul dari dua segi:
- perhatiannya hanya mengarah pada gagasan-gagasan ruang perkotaan yang dua dimensi saja;
- perhatiannya sering dianggap terlalu statis.


Teori Linkage
Teori pada kelompok kedua dapat dipahami dari segi dinamika rupa
perkotaan yang dianggap sebagai generator kota itu. Analisis linkage
adalah alat yang baik untuk memperhatikan dan menegaskan hubungan-hubungan dan gerakan-gerakan sebuah tataruang perkotan (urban public).
Kelemahan analisis linkage muncul dari segi lain kurangnya perhatian dalam mendefinisikan ruang perkotaan (urban public) secara spasial dan kontekstual.

Teori Place
Teori pada kelompok ketiga dipahami dari segi seberapa besar kepentingan tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya, dan sosialisasinya. Analisis place adalah alat yang baik untuk:
- memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya.
- memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual.
Kelemahan analisis place muncul dari segi:
- perhatiannya yang hanya difokuskan pada satu tempat perkotaan saja.

Dimensi Manusia
Konsep mengenai ruang berkembang seiring dinamika pemikiran di ranah filsafat dan ilmu pengetahuan. Pembahasan mengenai ruang memiliki kecenderungan mengarah ke dalam dua hal yaitu ruang sebagai suatu realitas tersendiri yang dapat terlepas dari pengalaman-pengalaman manusia oleh karena itu bersifat obyektif, serta ruang sebagai konsepsi manusia sehinga bersifat subyektif dan bersifat kontekstual.
Gropius menyebut empat aspek ide ruang. Konsep yang pertama adalah illusory space yang imaterial dan berasal dari intuisi manusia dan secara eksklusif merupakan bagian dari dunia pemikiran. Sejajar dengan pengertian ruang Kant, dalam konsep ini, ruang merupakan ide bukanlah obyek empirik. Gropius membedakan ide ruang ini dengan mathematical space yang berkaitan dengan metode untuk merealisasi ruang aktual dengan menggunakan sarana gambar.
Konsep ketiga adalah material space. Disini ruang dipahami sebagai obyek teraba (ruang taktil) atau lebih luas lagi ruang inderawi yang termasuk dalam kategori ruang persepsional. Kategori keempat adalah artistic space yang vital dan emosional. Konsep ini mewakili ruang spiritual yang dibentuk oleh atribut-atribut fisik dan intelektual manusia sehingga tercapai ekspresi emosional. Pada kategori keempat ini manusia; semangat, jiwa serta lingkungan fisiknya dikombinasikan menjadi satu keutuhan.
Konsep mengenai tempat (topos) sebagai suatu dimana setiap elemen fisik cenderung berada dan melingkungi obyek yang ada padanya. Dari pengertian ini, tempat didefinisikan sebagai lingkungan terbatas, sebatas yang dipersepsi oleh manusia. Ruang alam semesta tak terbatas, hingga ketika para filsuf dari aliran eksistensialisme dan fenomenologis kembali mempertanyakan konsep ruang tak terbatas, ide Aristoteles itu dilahirkan kembali dengan penekanan aspek manusia sebagai subyek yang mengalami ruang.
Eksistensi manusia dalam ruang dan waktu bukan saja merupakan proses mengenali obyek-obyek. Bukan juga sekedar aktivitas kognitif yang terjadi akibat proses persepsinya tentang obyek-obyek; relasi individu-obyek. Suatu proses mendalam “mengetahui”, “merasakan“ dan “menyadari” dalam kerangka pikiran untuk mecapai pemahaman mengenai eksistensi manusia
Tiga aspek utama yang menjadi kajian dalam desain interior, yaitu ruang, alat dan manusia sebagai subyek. Sepanjang sejarah kebudayaan, manusia selalu mengembangkan nilai-nilai menjadi sistem nilai dari generasi ke generasi. Diantara sekian nilai yang dimiliki oleh manusia selaku subyek, adalah 'rasa'.
Perencanaan kota sudah lama didominasi oleh kaum rekayasawan yang melihat kota dari aspek fisik dan keruangan, terutama yang menyangkut tata guna lahan, sistem transportasi dan jaringan infrastruktur, serta lain-lain yang penekanannya terlalu condong ke arah fisik spasial kota. Ruang-ruang terbuka tidak dirancang sejak awal, tetapi sekadar dikenai perlakuan kosmetik terhadap ruang yang sudah dijejali bangunan.
Bangunan-bangunannya pun dirancang sebagai elemen yang individual yang lepas kaitannya antara satu dan lainnya, tidak ada keserasian tata ruang dan massa. Dampak yang paling terlihat dari adanya pola tersebut adalah banyak dijumpai ruang-ruang terbuka yang tidak terstruktur dan tidak terencana, sehingga menimbulkan citra yang negatif terhadap ruang tersebut.
Yang lebih merisaukan lagi adalah adanya kekuatan para penentu kendali ekonomi dan pembuat keputusan tentang lansekap sebuah kota, di mana dimensi ekonomi memenangkan persaingan atas dimensi ekologi, kesehatan, maupun sosial. Hal tersebut cenderung menampilkan jati diri sebuah kota sebagai kota teknopolis atau kota yang keras, yaitu mendewakan teknologi, memerangi alam dan mengerdilkan manusia.
Alih fungsi peruntukan ruang hijau ke fungsi lain banyak ditemui di kota-kota besar di Indonesia, salah satunya karena belum adanya kemauan politik dan kebijakan pemerintah, serta belum optimalnya partisipasi masyarakat yang mendukung keberadaan ruang terbuka kota. Sehingga, ruang terbuka kota hanya diartikulasikan sebagai pelengkap dan pengisi ruang sisa kota, bukan sebagai elemen pembentuk kota.
Citra sebuah kota sesungguhnya tidak sekadar terbentuk dari monumen-monumen pencakar langit yang arogan di tengah kota, tetapi juga tercipta oleh suatu nuansa gerak, antara kegiatan manusianya dengan massa pembentuk kota itu sendiri, yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur yang bersifat alam maupun buatan, sehingga mewujudkan kota yang lembut dan manusia (humanopolis).
Ketiga unsur pembentuk kota tersebut akan saling bersinergi dan berkontribusi yang pada akhirnya secara sistemik akan menghasilkan suatu ekosistem yang unik. Keunikan tersebut akan menciptakan sebuah karakteristik wilayah yang membedakan secara signifikan dengan wilayah lain.

Dimensi Estetika
Aspek-aspek subyektif juga terkait dengan unsur-unsur obyektif sebagai akibat dari kesepakatan-kesepakatan yang merupakan konsekuensi logis dari mahluk sosial. kemudian selama berabad-abad menjadi bahan studi dan dibuat semacam konstruksi dalam filsafat yang kemudian disebut sebagai estetika.
Meskipun estetika sebagai suatu pemikiran telah berlangsung berabad-abad yang lampau, namun Estetika sebagai sebuah nama pada sebuah disiplin filsafat baru dimulai sejak tahun 1750, yang mempelajari persepsi inderawi manusia (Baumgarten pencetus gagasan ini menyebutnya episteme aisthetike, yang kemudian disingkat menjadi Aesthetik). Disiplin itu kemudian menyempit artinya menjadi terbatas pada bidang seni, dan khususnya karya seni. Ditinjau dari perkembangan kesejarahan yang berkaitan dengan 'history of thought', wacana mengenai estetika berkembang dalam bentuk teori tentang keindahan dan teori tentang seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar tapi yang membanguna ya...!!!!!!